REVITALISASI KEARIFAN LOKAL BANGKA BELITUNG UNTUK PENCEGAHAN RADIKALISME

A. Ringkasan Eksekutif

Bicara Radikalisme sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, seringkali tidak menarik dan kurang relevan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Hal ini disebabkan kondisi Babel yang relatif bersih dari berbagai tindakan radikal[1]. Bagi Babel yang relevan adalah apa yang dimiliki Babel sehingga Radikalisme tidak relevan sehingga tetap kondusif sampai sekarang ini? Survei BNPT RI 2017 dan Penelitian Potensi Kearifan Lokal Babel dalam mencegah Radikalisme menunjukan bahwa kearifan lokal Babel memiliki andil penting dalam menjaga stabilitas. Paling tidak ada dua kearifan lokal Babel: pertama, secara geografis wilayah kepulauan Babel merupakan daerah kepulauan yang berada di tengah perlintasan berbagai etnis dan kepentingan sejak lama. Kedua, wilayah kepulauan Babel didiami oleh masyarakat Melayu. Bermodalkan dua hal ini, kepulauan Babel banyak sekali memiliki kearifan lokal yang sangat anti dengan kekerasan. Bagaimana itu bisa bertahan,di tengah derasnya arus globalisasi dewasa ini?tentu karena kemampuan revitalisasi kearifan lokal, baik oleh masyarakatnya dan didukung pemerintah daerahnya. Revitalisasi harus mengarah pada substantif bukan pada ritual dan atribut semata karena kearifan lokal Babel tidak mengenal bentuk kerajaan sehingga akan sulit jika revitalisasi merujuk pada konsep budaya yang dimiliki sistem sosial yang mapan sebagai sebuah kerajaan.

B. Fenomena Radikalisme di Bangka Belitung

Radikalisme destruktif yang seringkali muncul dalam berbagai bentuk tindakan terorisme telah merasuki segenap lapisan masyarakat di Indonesia. Dari kalangan putus sekolah sampai kalangan terpelajar, kalangan tidak punya pekerjaan tetap sampai aparatur sipil negara, kalangan sipil sampai aparatur bersenjata yang mestinya menjadi pengawal terdepan keutuhan bangsa ini. Begitu juga secara geografis, hampir tidak ada wilayah yang aman dari aksi-aksi Radikalisme. Seolah sesama anak bangsa telah tidak saling mengenal sehingga dengan mudahnya bertindak radikal.

Apa sesungguhnya yang menyebabkan demikian? dilihat gejala Radikalisme yang menggelobal, asumsi penyebab yang pertama adalah jumlah penghuni planet Bumi yang samkin sesak, proyeksi Statistik, penghuni planet Bumi hampir mencapai mencapai 9 Milyar jiwa sehingga kepentingan, budaya, dan selera pun semakin beragam.Kedua adalah globalisasi yang didukung dengan Internet sebagai aktor utama.Dengan internet dunia benar-benar global village (meminjam istilah John Neisbit), era internet yang telah ada di gengaman dimana banyak data dan informasi telah tersimpan dalam satu tempat (cloud) sehingga mudah setiap orang melalui handphone berbasis android dapat mengambil dan menyaksikan berbagai peristiwa yanag telah dan sedang terjadi di belahan dunia manapun bahkan dalam waktu bersamaan dengan kejadian peristiwa. Kondisi ini membuat orang Indonesia misalnya merasa “sangat dekat”dengan benua Amerika dan Jazirah Arab yang secara geografis sangat jauh sehingga tidak mengherankan jika ada orang Indonesia ingin berpenampilan, berpemikiran, dan berbudaya seperti orang di benua Amerika dan Jazirah Arab.“kesesakan yang menglobal” ini tidak jarang mengakibatkan keguncangan budaya (cultureshock), karena ketidaksiapan menerima budaya baru sehingga jika setiap keinginan itu diekpresikan secara radikal dan disertai aksi-aksi kekerasan maka munculah aksi-aksi terorisme.

Kondisi di atas, membuat aksi-aksi radikalisme dan terorisme tidak mengenal batas geografis dan dapat menyasar siapapun,tidak peduli apa latar belakang, pendidikan, dan pekerjaanya. Kepulauan Nusantara yang demikian jauh dari Timur Tengah, pada kenyataanya telah berkontribusi signifikan dalam gerakan-gerakan Islamic State Iraq and Syiria (ISIS), bahkan beberapa aksi teror terjadi di Indonesia diklaim sebagai bagian aksi kelompok ISIS. Meskipun tidak semua aksi radikalisme dan terorisme di tanah air berhubungan dengan kelompok radikal dan teroris di luar negeri, tetapi tidak sedikit pelaku aksi Radikal ditanah air belajar dari peristiwa radikal yang sempat mereka saksikan melalui media, terutama internet.

Radikalisme tidak lagi dilakukan secara kelompok, namun sudah individual (lone wolf) dan tidak lagi memerlukan kehadiran tokoh yang membuat orang menjadi radikal, melainkan radikalisme dapat saja dipilih sebagian individu untuk mengekpresikan kekecewan dan pelampiasan dan keputus-asaanya terhadap kondisi yang dihadapi hanya dengan membaca, menyimak informasi yang tersedia luas di berbagai media, terutama internet saat ini.

Bagaimana dengan Bangka Belitung? Meskipun statistik aksi terorisme masih nihil, bukan berarti Bangka Belitung tidak memperhatikan isu terorisme, karena faktanya berdasarkan pengakuan Ali Fauzi, adik Amrozi dan Imam Samudra, pelaku Bom Bali 2001, pada salah satu acara Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 27 November 2015 bahwa Bangka Belitung pernah dijadikan jalur distribusi logistik aksi teror, khususnya kelompok Malaysia (Bangkapos,28/11).

Begitu juga dalam hal aksi Radikalisme di Babel dalam 15 tahun terakhir menunjukan peningkatan frekuensi. Berikut deretan aksi Radikalisme di Babel:

  • Pada Oktober 2006, ketika terjadi demonstrasi masyarakat pekerja sektor pertimahan di halaman kantor Gubernur berakhir ricuh. Lantai I kantor gubernur luluh lantah berbagai peralatan kantor dirusak massa yang tiba-tiba beringas karena aspirasi mereka menolak penutupan Smelter (peleburan Timah Swasta) ditutup kurang diperhatikan pemerintah daerah.
  • November 2006,  beberapa rumah warga pendatang di Air Sampik Desa Air Bara dibakar massa. warga setempat (Desa Air Bara, Basel).
  • Februari 2008 terjadi perkelahian antar desa bertetangga di Bangka Selatan, Desa Air bara dan Desa Ranggas memakan korban satu nyawa.
  • Maret 2008, Markas Polisi Sektor Kecamatan Tempilang, Bangka Barat di bakar massa karena dianggap polisi melindungi pencuri yang telah meresahkan warga lebih dari 10 tahun.
  • Pada tahun 2010 sekelompok ibu-ibu membakar tempat hiburan di Desa Tanjung Niur, Tempilang karena para suami mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tempat hiburan tsb.  Kejadian serupa terulang April 2015.
  • Juli 2011,  Sukadamai Toboali Bangka Selatan Mencekam  perahu nelayan dibakar penambang apung yang mayoritas pendatang (lokal vs Selapan, Sumsel).  Nelayan menolak tambang laut.
  • Juni 2013,  belasan rumah milik warga Selapan, Sumsel di Desa Penagan, Bangka musnah dibakar puluhan massa warga setempat. (lokal vs Selapan, Sumsel).
  • Pada November 2014, sejumlah pemuda membakar Polsek Geruggang di Pangkalpinang.
  • Pada tahun 2017, sempat terjadi pembakaran ponton (alat tambang timah) Tambang Inkonvensional yang beroperasi tanpa izin di seputar Sungai Perimping, Riau Silip Bangka.
  • pada11 Desember 2017 terjadi pembakaran ratusan ponton (alat tambang Apung) di perairan Desa Air Lintang dan Benteng Kota Tempilang (Bangka Barat) sehingga lautan berubah jadi lautan api.
  • Pada 24 November 2018 terjadi pembakaran 1 unit ekcavator, 3 unit motor, 1 pondok camp Tambang berserta isinya di bakar, 3 pelaku ditangkap salah satunya adalah Anggota DPRD Kabupaten Bangka berinisial SI. SI juga disangkakan pasal penyelahgunaan Narkoba karena saat penangkapan dilakukan tes urine yang bersangkutan positif mengandung nakoba.

Catatan di atas seakan mengkonfirmasi hasil Survei BNPT 2017 “ Survey Nasional Daya Tangkal Masyarakat Terhadap Radikalisme, Potensi Radikalisme masyarakat di Provinsi Bangka Belitung (Babel) tahun 2017” menunjukkan angka yang perlu diwaspadai yaitu 55,5 pada rentang 0 sampai 100. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat potensi radikalisme tersebut berada pada kategori POTENSI SEDANG MENUJU KUAT. Potensi Radikal tertinggi dicerminkan oleh factor dominan dari Potensi Pemahaman Radikal yang berada pada angka 60,27 (Potensi Kuat) dan Potensi Sikap Radikal pada angka 56,18 (Potensi Sedang). Simpulan di atas diperoleh dari analisis terhadap dua variabel utama yang diuji secara empiris yaitu daya tangkal dan radikalisme. Daya tangkal terdiri dari enam variabel bebas yaitu;  kesadaran hukum (X1), kesejahteraan (X2), pertahanan dan keamanan (X3), keadilan (X4), kebebasan (X5), dan kearifan lokal (X6). Radikalisme (Y) merupakan dependent atau variabel terikat yang terdiri dari dimensi pemahaman radikal (Y1), sikap radikal (Y2), dan tindakan radikal (Y3). Jika dilihat lebih rinci, Variabel laten Kearifan Lokal (X6), Pertahanan dan Keamanan (X3), dan Kepercayaan Terhadap Hukum (X1), secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan negative (daya tangkal) terhadap potensi Radikalisme (Y) di Provinsi Bangka Belitung (Babel) dengan kategori daya tangkal yang berada pada kategori Sedang (Kearifan Lokal (X6), Pertahanan dan Keamanan (X3), dan Kepercayaan Terhadap Hukum (X1).

C. Kearifan Lokal Bangka Belitung dalam Pencegahan Radikalisme

Bicara Radikalisme sebagaimana definiskan Nasiruddin (KUMBI V1.1), bahwa radikalisme dapat diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, seringkali tidak menarik dan kurang relevan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Hal ini disebabkan kondisi Babel yang relatif bersih dari berbagai tindakan radikal sebagaimana pernyataan Kapolri dalam kunjungan ke Babel. Bagi Babel yang relevan adalah membahas apa yang dimiliki Babel sehingga Radikalisme tidak berkembang sehingga tetap kondusif sampai sekarang ini?

Untuk menghindari intervensi budaya asing, salah satunya dengan memperkuat jati diri bangsa. Salah satu hal penting dalam memperkuat jati diri bangsa itu adalah dengan memperkuat kearifan lokal. Hal ini senada dengan rekomendasi Survei BNPT 2017, pentingnya kearifan lokal guna pencegahan radikalisme.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung potensial nilai-nilai kearifan lokal dikarenakan dua hal. Pertama, Babel secara geografis merupakan daerah kepulauan sekaligus berada pada posisi startegis.Sebagai masyarakat kepulauan, masyarakat Babel, masyarakat terbuka, adaptif terhadap budaya luar. Sebagaimana Zulkifli[2] menyatakan bahwa kebudayaan Melayu Bangka Belitung bersifat hybrid (gabungan), gabungan antara unsur budaya pra-Islam dan Islam, juga menggabungkan unsur budaya Cina, Jawa, dan lain-lain, memmicu berlangsungnya proses akulturasi, adaptasi, dan asimilasi budaya.

Babel merupakan satu di antara delapan povinsi kepulauan di Indonesia dengan letak yang berada di perlintasan jalur pelayaran internasional[3]. Kedua, Babel dihuni mayoritas etnis melayu yang dikenal anti dengan kekerasan dan berpendudukan mayoritas etnis Melayu moderat, Babel dianugerahi kearifan lokal yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan dan kegotorng-royongan.

Hal ini terutama nampak dari berbagai kearifanlokal, baik bentuk sastra:  Pantun, terutama pantun nasihat dan ritual budaya Nganggung. Nganggung adalah tradisi gotong-royong membawa makanan ke masjid/balai desa dalam rangka menyambut tamu atau perkumpulan warga dalam upacara hari besar Islam dan acara lainnya. Akhir-akhir ini Nganggung juga sudah digunakan masyarakat untuk bergotong-royong meringankan beban keluarga yang kena musibah, meninggalnya salah satu angota keluarga yang meninggal dunia terutama pada hari petama hingga hari ketujuh. Nganggung dilakukan secara bergiliran (baiasanya per RT) sesuai dengan kesepakatan. Di Babel, orang yang meninggal dunia biasanya dibacakan Surah Yasin dan Tahlil di hari pertama sampai dengan hari ketujuh secara beruntun kemudian diulang lagi pada perayaan hari ke-25, ke-40, hari ke-100, dan kemudian diperingati setiap hitungan satu tahun meninggalnya.Tradisi ini sangat bermakna bagi masyarakat, terutama kalangan  kurang mampu. Begitu juga tradisi Nganggung dalam menyambut tamu, dalam sebuah acara pesta adat kampung, seperti Sedekah Ruwah di Tempilang (Bangka Barat), Sedekah Kampung di Kundi (Bangka Barat), Hikok Helawang di Ranggung (Bangka Selatan) dan sekitarnya, Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Kemuja (Bangka), Peringatan 1 Muharram di Kenanga (Bangka) yang menerima kunjungan berbagai lapisan masyarakat dan pejabat dari seluruh pelosok Pulau Bangka, tamu yang datang jika tidak memiliki kenalan di lokasi tujuan akan terbantu dengan tradisi Nganggung dalam hal makannya, di samping bisa saja masuk kerumah warga dan tentu akan disuguhkan maknan meskipun tidak kenal dengan penghuni rumah, terutama pada saat pesta adat kampung tersebut. Tradisi Nganggung di Bangka, jika di Belitung dikenal juga dengan Tradisi Makan Bedulang. Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Babel[4], dalam tradisi Nganggung paling tidak terdapat nilai religius, solidaritas, soliditas, demokratis, dan keadilan.

Di Pulau Belitung ada Pengawe Adat (tokoh adat). Pengawe Adat adalah para tokoh adat dengan keahlian dan bidang masing-masing yang masih mempunyai peran penting dalam sendi kehidupan masyarakat Belitung saat ini.Dalam struktur masyarakat Belitung ada 4[5]Penggawe Adat; Dukun Kampong, Penghulu, Lebai, dan Pengguling.

Dukun kampong di Belitung terdiri dari dua kelompok yaitu, dukun kampong setra guru dan dukun kampong setra malaikat. Dukun kampong setra guru yaitu dukun kampong yang menggunakan adat tradisi turun-temurun berupa mantra-mantra, sedangkan dukun kampong setra malaikat yaitu dukun kampong yang menggunakan nilai-nilai Islam dan ayat-ayat al-Qur’an sebagai rujukan.Penghulu, merupakan tokoh agama yang bertugas menikahkan dan memberi nasihat perkawinan. Karena pengetahuannya di bidang agama, penguhulu kerap berganti peran dengan khatib atau lebai. Lebai, merupakan pemuka agama yang memberi nasihat dan pemahaman kepada masyarakat mengenai agama Islam, dan lebai juga sebagai pembaca doa pada saat acara kegiatan keagamaan, termasuk sbagai penyelenggara jenazah dalam upacara kematiaan warga muslim. Pengguling merupakan bidan kampong,  yang tidak hanya membantu persalinan, pengguling juga  mengurusi tata tertib wanita hamil hingga melahirkan. Masing-masing Pengawe Adat ini memiliki bidang dan wilayah kerja dalam memelihara ketertiban dan keselamatan masyarakat.

Pengawe Adat tidak hanya berperan penting dalam acara ritual adat semata, tetapi juga  dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Belitung. Ada yang disebut dukun kampong, dimana setiap Kampong/desa/kelurahan memiliki dua dukun, dukun tua dan dukun muda berposisi sebagai wakil dukun. Jangankan untuk hal-hal yang prinsip, mendirikan tenda (tempat sebuah acara) saja masyarakat Belitung harus menunggu aba-aba dari Kik Dukun[6].

Pemerintah daerah bersama masyarakat cukup berupaya melestarikan berbagai kearifan lokal yang ada terutama kearifan lokal yang berkaitan erat dengan pemeliharaan stabilitas dan ketentraman masyarakat. Upaya pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota nampak dalam hal kebijakan berupa penetapan Peraturan Daerah tentang Lembaga Adat Melayu dan penganggaran melalui Dinas Pariwisata.

Ada beberapa Peraturan Daerah ditebitkan terkait pemberdayaan adat melayu di Babel:

  1. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung nomor 4 tahun 2012 tentang Lembaga Adat Melayu Bangka Belitung;
  2. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat nomor 4 tahun 2013 tentang Lembaga Adat Melayu Sejiran Setason;;
  3. Peraturan Daerah Kabupaten Belitung nomor 14 tahun 2012 sebagaimana diperbaharui melalui Peraturan Daerah nomor. 5 tahun 2013 tentang Lembaga Adat Melayu Belitung

Bahkan masa Kekuasaan Kesultanan Palembang Darusslam, Bangka pernah berlaku Hukum Adat bernama Sindang Merdika yang memuat pantang dan larang, serta sanksi bagi yang melanggarnya. Begitu juga melalui penganggaran, melalui Dinas Pariwisata, baik provinsi maupun kebupaten kota masing-masing memiliki agenda budaya yang ditetapkan pemerintah daerah melalui tradisi yang sudah hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Melalui penetapan agenda budaya sebagai agenda pemerintah daerah kemudian menyelurkan pendanaanya sehingga event-event budaya terus ada. Tahun 2017 Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pariwisata menganggarkan sekitar Rp.1,26M dari total anggaran dinas Rp. 19,2M (babel.go.id) untuk itu.

Namun demikian, catatan aksi radikalisme Babel dalam 15 tahun terakhir cenderung meningkat? Mesti ada yang tidak bersesuaian antara yang dilakukan pemerintah dengan yang terjadi di masyarakat. Diakui atau tidak pada kenyataannya, dukungan pendanaan pemerintah lebih fokus pada event budaya terkait promosi pariwisata yang diharapkan dapat menunjang pendapatan asli daerah. Begitu juga dengan Perda Lembaga Adat, selama ini setelah Perda ditetapkan hampir tidak ada dukungan penganggaran untuk aktivitasnya sehingga yang muncul belakangan adalah aktivitas berbau politis dengan memberikan gelar adat kepada pejabat publik. Belum nampak program dan kegiatan terkait dengan revitalisasi substansi kearifan lokal yang terkandung dalam berbagai ritual adat seni dan budaya, sehingga tidak mengherankan jika lembaga adat justru belum bersentuhan langsung dengan substansi kearifan lokal sebagai jatidiri dan karakter daerah guna mengantisipasi intervensi budaya asing bagi warganya.

D. Agenda Kebijakan

Untuk menjadikan program dan kegiatan mendukung kearifan lokal sebagai jatidiri dan karakter daerah guna mengantisipasi intervensi budaya asing bagi warganya. Pemerintah daerah melakukan hal berikut.

1. Mempercepat indentifikasi ulang kearifan lokal masyarakatMelayu Babel.

Tahun 2018 Dinas Pariwisata provinsi bersama dinas kabupaten/kota sedang dalam proses penyusunan Direktori kebudayaan sebagaimana dimanatkan Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Kebudayaan. Karena banyak aspek budaya yang diinventarisir, maka program ini tentu tidak dapat dilakukan dngan cepat jika hanya dikerjakan oleh Dinas Pariwisata.  Untuk mempercepat Dinas Pariwisata perlu melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti perguruan tinggi, Pusat Studi kebudayaan, dan insan-insan yang konsen pada pengembangan budaya di daerah masing-masing.

2. Revitalisasi harus mengarah substansi Kearifan Lokal

Revitalisasi harus didorong kearah substansi yang terkandung dalam kearifan lokal, karena jika relevansi tidak berbasis substansi nilai-nilai kearifan lokal yang bisa dipastikan revitalisasi itu akan ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Begitu juga pendanaan bagi Lembaga Adat perlu adanya dukungan pendanaan tidak hanya sebatas kebijakan saja. Melainkan dukungan pendanaan yang fokus pada substansi nilai-nilai kearifan lokal. Untuk memulai agenda ini diperlkan diskusi panjang antara pemangku kebudayaan daerah. Bangka Belitung diskusi itu tentu tidak dapat mengunakan pakem budaya lain yang sudah mapan karena pakem budaya Babel berbeda dengan daerah lain sehingga diskusi tidak terjebak pada bagaimana bentuk rumah adat, pakai adat, dan apa gelar adat karena budaya Bangka Belitung tidak berbasis sistem sosial yang mapan seperti daerah-daerah yang jelas memiliki kerajaan, karena sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukan adanya kerajaan di Bangka Belitung.

E. Referensi

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, “Upacara Adat Bangka Belitung”, Pangkalpinang: CV. Talenta Surya Perkasa, 2015

Erni Suriyati “Peran Penggawe adat dalam Membina Kehidupan Masyarakat Melayu Islam di Kelurahan Tanjungpendam Kecamatan Tanjungpandan Kabupaten Belitung”, Skripsi, Jurusan Tarbiyah STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, 2016, tidak dipublikasikan.

Ibrahim dkk, Nganggung di pulau Bangka (sebuah Pendekatan Aksiologis) dalam merajut Tradisi Menguntai Makna, Sebuah Upaya Menelusuri Filsafat Nusantara, Yogkayarta: Romza, 2012.

Presidium Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Propinsi Bangka Belitung, Jembatan menuju Kesejahteraan, Mei 2000.

Wawancara Asri Ujang, Ketua Lembaga Adat Keluarahan Tanjung Pendam Belitung, 28 September 2018

Zulkifli “Al-Islām al-mu'tadil wa thaqāfat Bangka Belitung: al-manẓūrāt al-antrūbūlūjīah” dalam Jurnal Studi Islamika, Volume 17 nomor 3 tahun 2010.

 

[1] Maret 2017, babel menerima penghargaan terbaik ke-9 di Indonesia dalam penanganan konflik sosial; 5 Agustus 2018, Kapolri, M.Tito Karnavian dalam kunjungan di Babel menyatakan sebagai daerah paling aman paling tidak dalam konteks Pilkada serentak 2017 yang nihil konflik dan tindakan kekerasan lainnya.

[2] Zulkifli “Al-Islām al-mu'tadil wa thaqāfat Bangka Belitung: al-manẓūrāt al-antrūbūlūjīah” dalam Jurnal Studi Islamika, Volume 17 nomor 3 tahun 2010, hal. 539-540

[3] Presidium Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Propinsi Bangka Belitung, Jembatan menuju Kesejahteraan, Mei 2000. Hal. 76

[4] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, “ Upacara Adat Bangka Belitung”, Pangkalpinang: CV. Talenta Surya Perkasa, 2015, hal. 61 mengutip Ibrahim, “Nganggung di pulau Bangka (sebuah Pendekatan Aksiologis) dalam merajut Tradisi Menguntai Makna, Sebuah Upaya Menelusuri Filsafat Nusantara, Yogkayarta: Romza, 2012.

[5] Erni Suriyati “Peran Penggawe adat dalam Membina Kehidupan Masyarakat Melayu Islam di Kelurahan Tanjungpendam Kecamatan Tanjungpandan Kabupaten Belitung”, Skripsi, Jurusan Tarbiyah STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, 2016, tidak dipublikasikan, hal.13-15.

[6] Wawancara Asri Ujang, Ketua Lembaga Adat Keluarahan Tanjung Pendam Belitung, 28 September 2018

Penulis: 
Subardi, M.KPd, Muhammad Anshori, MA & Pengurus FKPT BABEL
Sumber: 
Bidang Penelitian dan Pengkajian FKPT Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Artikel

31/12/2018 | Bidang Penelitian dan Pengkajian FKPT Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
28/09/2017 | Bidang Poldagri
03/03/2017 | Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
27/02/2017 | Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
21/02/2017 | Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
01/11/2014 | RSU Provinsi
31/12/2018 | Subardi, M.KPd, Muhammad Anshori, MA & Pengurus FKPT BABEL
21/02/2017 | Rohendi